Novel BELENGGU “Terbelenggu” Tanda Baca Elipsis
Siapa Armijn Pane? Lahir di Muara Sipongi tanggal 18 Agustus 1908 dan wafat 16 Februari 1970. Ia adalah sastrawan angkatan Pujangga Baru. Karya sastranya antara lain: Gamelan Djiwa (1960), Djiwa Berdjiwa (1939), Belenggu (1940), Djinak-Djinak Merpati (1940) Kisah Antara Manusia (1953) dan Antara Bumi dan Langit (1951). Novel Belenggu telah puluhan kali saya baca ketika masih remaja dulu. Buku ini mulai ditulis dari bulan Oktober hingga Desember 1938. Sebelum dicetak dalam bentuk buku, novel ini lebih dulu dimuat dalam majalah Pujangga Baru ketika Armijn Pane menduduki jabatan sekretaris redaksi. Semula novel ini berjudul “Pintu Kemana?” Setelah akan diterbitkan dalam bentuk buku, judul diganti menjadi “Belenggu”. Selain diterbitkan di dalam negeri, tahun 1965 Belenggu juga diterbitkan oleh penerbit Malaysia (Petaling Jaya) dan menjadi bacaan pupuler di kalangan remaja pecinta sastra di Malaysia.
Sudah puluhan orang yang mengulas karya sastra yang tergolong fenomenal itu. Mereka menyoroti dari berbagai sudut pandang: sejarah sastra, tema, gaya bahasa, gaya cerita, psikologi, sosial, budaya, dll. Tetapi ada bagian dari novel itu yang belum pernah ditulis orang. Sederhana sekali, yakni sekitar pemakaian tanda baca. Untuk mengenang jasa almarhum sengaja saya tulis pemakaian tanda baca, khususnya tanda baca “elipsis” ( ... ) dalam novel Belenggu yang ternyata memiliki keunikan tersendiri.
Mengapa Belenggu?
Karya Armijn Pane yang satu ini ketika disampaikan ke Redaktur Balai Pustaka ditolak karena dinilai merupakan karya sastra yang membeberkan realita sosial dalam sebuah kehidupan di sebuah rumah tangga. Novel Belenggu memaparkan kehidupan para tokoh yang terbelenggu oleh keegoisan masing-masing tokoh, yaitu dr. Sukartono (Tono) dan isterinya Sumartini (Tini), serta selingkuhan sang dokter yang bernama Rohayah (Yah). Gambaran sebuah keluarga terpelajar yang gagal dalam membangun rumah tangga.
Tono merupakan seorang dokter yang sangat peduli terhadap pasien-pasiennya. Setiap hari, siang maupun malam selalu sibuk dengan pasien. Ia justru mengabaikan isterinya Tini yang berparas cantik. Tini merasa, Tono egois. Tono menikahi Tini, tidak didasari cinta, melainkan hanya menganggap Tini pantas untuk menjadi istrinya. Sebaliknya di dalam diri Tini juga berkecamuk sikap yang sama karena ia menikah dengan Tono hanya sekedar ingin melupakan masa lalunya.
Pertengkaran di dalam rumah tangga menjadi hal biasa. Konflik yang terjadi dalam rumah tangga Tono dan Tini menjadi inti dari novel Belenggu. Konflik dari dua pribadi yang sama-sama egois. Konflik itu diperparah dengan hadirnya tokoh ketiga, Rohayah (Yah), teman Tono pada waktu masih di Sekolah Rakyat dulu. Diam-diam Yah memendam rasa cinta terhadap Tono. Yah juga merupakan pribadi yang gagal dalam berumah tangga. Tidak rela dipaksa kawin oleh orang tuanya, ia pergi ke Jakarta. Tragisnya, Yah di Jakarta menjadi seorang wanita panggilan yang selalu kesepian. Ketika tahu keberadaan Tono, Yah segera menghubunginya. Berpura-pura menjadi orang sedang sakit, Yah berhasil mengelabui Tono sehingga Tono pun masuk perangkap.
Sebuah cerita cinta segi tiga antara Tono, Tini dan Yah, yang sarat dengan konfik batin disajikan kepada pembaca dengan gaya cerita dan gaya bahasa yang menarik. Dalam mengakhiri cerita novelnya Armijn memilih berbeda dengan pengarang-pengarang novel sejaman yang cenderung memihak kepada salah satu tokoh atau mematikan salah satu tokohnya. Armijn justru mengakhiri cerita Belenggu dengan cara yang adil bagi ketiganya. Tidak ada tokoh yang dikalahkan atau dimatikan. Mereka berpisah, tetapi dari perpisahan itu ketiganya merasa telah terbebas dari ”belenggu” perasaan masing-masing sebagai inti permasalahan yang diangkat Armijn ke dalam novel ini.
Terbebasnya belenggu dari ketiga tokoh itu dapat kita lihat pada kata-kata masing-masing tokoh. Setelah berpisah dengan Tini dan Yah, dr. Tono merasa ”...baru bangun dari mimpi, seolah-olah selama ini ada yang membelenggu pikiran dan angan-angannya, kini belenggu itu berdering jatuh ke tanah, ...”. (hal. 148) Tini juga merasa di dalam hatinya menjadi tenang karena: -”Haru biru yang selama ini dalam hatinya sudah hilang sama sekali. Belenggu yang sebagai mengikat semangatnya sudah terlepas. Di dihadapan mata semangatnya dengan terang memanjang jalan yang ditempuhnya”. (hal. 136) Demikian pula halnya dengan Yah, setelah perpisahan itu juga telah menemukan dunia baru, terbebas dari belenggu yang selama dia rasakan. Kesimpulan ini didapat dari kalimat: -”Yah tersenyum, sambil menangis... dia merasa belenggu dahulu, waktu belum ketemu Tono, terkunci lagi, tetapi belenggu itu terasa ringan, menerbitkan perasaan gembira yang tidak terhingga...”. (hal 149)
Pamakaian tanda baca elipsis
Nama tanda baca ini berasal dari kata bahasa Yunani élleipsis, yang berarti penghilangan. Pembentukannya dengan cara merangkai tanda baca titik (.). Tanda titik di Malaysia disebut noktah, di Inggris disebut full stop, period atau dot. Rangkaian tanda itu berjumlah tiga titik ( ... ). Tanda baca “elipsis” biasa disebut omission marks atau suspension, yang berarti penghilangan kata atau frase dari teks atau kalimat. Di Polandia elipsis disebut wielokropek. Aslinya ditulis ”ellipsis”, dan di Indonesia sesuai EYD penulisannya menjadi “elipsis” (dengan satu huruf “l”). Pemakaianya diatur sebagai berikut:
(1) Dipakai dalam kalimat yang terputus-putus. Contoh: - ”Kalau begitu ... ya, marilah kita bergerak”; (2) Dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan. Contoh: - ”Sebab-sebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut”.
Tujuan pemakaian tanda baca elipsis menurut W.J.S. Poerwadarminta adalah untuk: (1) menandai adanya kata atau frasa yang tidak ditulis dalam statu kalimat, dan selanjutnya pembaca diharapkan akan mengisi sendiri kata-kata yang dihilangkan; (2) melukiskan apa yang tidak dapat lagi diucapkan oleh tokoh dalam cerita karena keharuan yang sangat dalam, menyebabkan kata-kata tidak keluar untuk mengungkapkan sesuatu; (3) menandai adanya tanda jeda panjang. Selain itu, H.B. Jassin menambahkan satu tujuan, yaitu untuk: (4) menandai adanya loncatan kepada suatu ketiba-tibaan, kejadian atau pikiran yang tidak disangka-sangka atau sebagai tanda belum selesainya berbicara, terputus-putusnya orang bicara, dsb.
Di Amerika Serikat penulisan tanda baca ini diharuskan memakai spasi dan hanya tiga titik saja: ”The ellipsis consists of three evenly spaced dots (periods) with spaces between the ellipsis and surrounding letters or other marks”. Ada spasi antara tanda ”ellipsis” dengan huruf sebelum dan sesudahnya ( … ). Contoh: - “The ceremony honored twelve brilliant athletes ... visiting the U.S.”. Di Polandia elipsis ditulis dengan tiga titik tanpa spasi dari huruf terakhir atau dengan kata yang mengapitnya. Di Jepang tanda baca ini disimbolkan tidak hanya tiga titik melainkan dengan enam titik. Cara penulisannya tidak horizontal melainkan dengan vertikal, sesuai dengan cara penulisan huruf Jepang. Bahkan di Jepang ada yang memakai sampai sepuluh titik, sehingga sering tanda baca itu dijadikan olok-olok dengan sebutan ”ten-ten-ten”. Sementara di China elipsis juga ditulis dengan enam titik dengan penulisan tiga titik dalam dua grup (ada spasi).
Di Indonesia penulisan tanda baca elipsis disepakati dengan menggunakan tiga tanda titik, mengikuti pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972. Bagaimana jika tanda baca ellipsis dipakai pada awal kalimat? Supaya tidak kacau dengan tanda titik pada akhir kalimat sebelumnya, maka harus ada spasi.
Contoh: - ”Pak Amir tadi pagi meninggal. …Meninggal?” (Spasi)
Bagaimana bila elipsis dipakai pada akhir kalimat? Tanda baca itu ditulis dengan empat titik. Tiga titik sebagai tanda baca elipsis dann satu titik tambahan sebagai tanda baca untuk mengakhiri kalimat.
Contoh: - « Lihatlah, bulan mulai terbit.... Menerangi jagat raya ». (Tanda titik keempat sebagai tanda akhir kalimat)
Tidak ada novel lain yang memakai tanda baca elipsis sebanyak novel Belenggu. Selain mendominasi seluruh kalimat dan halaman buku, cara penempatan tanda itu sangat beragam. Saking banyaknya pemakaian tanda itu, seolah-olah novel Belenggu menjadi “terbelenggu” oleh pemakaian tanda baca itu. Apakah benar demikian? Seberapa banyakkah pemakaian tanda baca itu?
Sebagai pegangan dalam penyimakan saya pakai buku Belenggu cetakan keempat, tahun 1954. Sebenarnya akan lebih baik apabila digunakan buku terbitan pertama (1940) tetapi untuk mencari buku terbitan pertama, kedua atau ketiga tidak tersedia waktu yang cukup. Sebagai novel terkenal, sampai dengan tahun 2008 Belenggu sudah mengalami cetak ulang yang ke-21. Meskipun menggunakan buku cetakan keempat kemungkinan telah terjadi perubahan atau penghilangan pemakaian tanda baca dibandingkan dengan cetakan sebelumnya sangat kecil. Cetakan terakhir justru menjadi penting sebagai pembanding, terutama dalam hal pemakaian tanda baca yang tentunya telah mengikuti pedoman EYD.
Bertolak uraian dan dari 4 tujuan pemakaian tanda elipsis seperti disebut di atas pemakaian tanda baca dalam Belenggu dapat dibedakan atas dua macam cara. Pertama, pemakaian tanda baca titik (.) yang di sini saya sebut dengan pemakaian tanda ”titik panjang” karena dipakai sepanjang satu baris. Kedua, pemakaian tanda baca elipsis ( ... ).
Pemakaian tanda baca ”titik panjang” dimaksudkan untuk melukiskan pergantian persoalan yang dijadikan topik dalam bab novel tersebut. Tanda baca ini terdapat pada halaman 22. Bunyi kalimat itu sebelum dan sesudah tanda baca ”titik panjang” adalah sebagai berikut:
- ” Tetapi pikiran itu tiada timbul benar, tiada terasa perlu bertanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar