Senin, 21 Oktober 2013

Pilihan Kata (Diksi)

Biasanya orang membuka kamus untuk mengetahui arti sebuah kata, cara penulisannya, atau cara-cara melafalkannya. Akan tetapi, banyak juga orang yang menginginkan lebih dari itu. Mereka ingin menemukan kata tertentu untuk mengetahui pemakaiannya secara tepat. Sudah barang tentu seorang pembicara atau seorang penulis akan memilih kata yang "terbaik" untuk mengungkapkan pesan yang akan disampaikan. Pilihan kata yang "terbaik" adalah yang memenuhi syarat (1) tepat (mengungkapkan gagasan secara cermat), (2) benar (sesuai dengan kaidah kebahasaan), dan (3) lazim pemakaiannya. Berikut ini adalah contoh pemilihan kata yang tepat.
  1. Sidik tidak mau lagi mendengarkan kata-kata temannya yang sudah terbukti suka membual. Ia mengacuhkan janji-janji yang diobral temannya itu dan menganggapnya angin lalu.
  2. Pingkan sangat senang mendengar kabar itu dan ia berkilah kepada teman-temannya dengan bangga "Ternyata saya lulus".
Jika dilihat konteksnya, dalam kalimat (1) itu kata mengabaikan lebih tepat dari pada mengacuhkan yang berarti 'memperhatikan' dan pada kalimat (2) kata berkata lebih tepat daripada berkilah yang maknanya 'berdalih'. Pilihan kata yang tidak benar dapat dicontohkan seperti yang berikut ini.
  1. Polisi telah berhasil menangkap pelaku pengrusakan gedung sekolah itu.
  2. Kedua remaja itu telah lama saling menyinta.
Kata pengrusakan dan menyinta bukanlah kata yang berbentuk secara benar. Bentuk yang benar adalah perusakan dan mencinta. Kata meninggal adalah kata yang baku di samping kata mati dan wafat. Akan tetapi, ketiganya memiliki kelaziman pemakaian masing-masing. Perhatikan pemakaiannya berikut ini.
  1. Petugas rumah sakit menyerahkan surat kematian yang menerangkan bahwa ayah saya telah meninggal setelah operasi yang gagal itu.
Dalam hal itu tentu tidak lazim digunakan istilah surat kemeninggalan atau surat kewafatan, padahal kalimat Ayah saya meninggal atau Ayah saya wafat lebih lazin dan takzim daripada Ayah saya mati. Contoh yang lain berkenaan dengan kata agung, akbar, dan raya yang semuanya bermakna 'besar'. Makna 'besar' pada kata agung tidak berkenaan dengan fisik, melainkan dengan harkat, misalnya jaksa agung. Kata akbar bermakna besar luar biasa (mahabesar). Kata raya yang juga bermakna besar, hanya dipakai dalam hal-hal tertentu saja. Ada istilah jalan raya dan hari raya di samping jalan besar dan hari besar, tetapi tidak lazim dikatakan jalan agung, jalan akbar, atau hari agung, hari akbar. Berkenan dengan kelaziman itu, pemakai bahasa memang perlu juga memperhatikan nilai rasa atau konotasi sebuah kata. Yang dimaksud dengan konotasi ialah tautan pikiran yang menerbitkan nilai rasa. Konotasi itu dapat bersifat pribadi dan bergantung pada pengalaman orang-seorang sehubungan dengan kata atau dengan gagasan yang diacu oleh kata itu. Salah satu contoh telah disinggung di atas. Di samping kata mati, ada kata meninggal, gugur, wafat, mangkat, dan tewas. Kata mati digunakan dengan pengertian yang netral dan tidak bernilai rasa hormat. Kata meninggal bernilai rasa hormat. Oleh sebab itu, hanya digunkan untuk manusia. Untuk para pahlawan atau orang-orang yang berjasa bagi negara yang meninggal sewaktu menjalankan tugas digunakan kata gugur. Kata wafat digunakan untuk orang yang kita hormati. Kata mangkat dianggap lebih takzim daripada kata wafat. Kata tewas digunakan secara netral untuk orang yang meninggal dalam suatu musibah. Ada orang yang menggunakan kata yang tidak lazim, misalnya kata yang berasal dari daerah, untuk menggantikan kata yang justru sudah lazim dalam bahasa Indonesia. Sekalipun dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa hormat, tindakan itu berlebihan dan tidaklah bijaksana. Marilah kita perhatikan kalimat pada paragraf penutup surat berikut ini.
  1. Atas segala bantuan itu, saya ucapkan terima kasih.
  2. Atas kemudahan yang telah saya terima, saya sampaikan terima kasih.
Pada dasarnya kedua kalimat di atas cukup takzim sehingga kita perlu menggunakan kata haturkan, misalnya untuk menggantikan ucapkan dan sampaikan. Selain ketiga hal di atas, keadaan kawan bicara juga perlu diperhatikan sehingga pesan yang akan disampaikan terpahami. Marilah kita perhatikan sebuah contoh pemilihan kata dalam sebuah sambutan pada suatu peresmian.
  1. Saudara-saudara, atas nama Pemerintah, saya menyampaikan salut setinggi-tingginya atas partisipasi aktif yang Anda berikan dengan penuh dedikasi dan penuh antusias dalam menyelesaikan proyek irigasi ini sebagai salah satu kegiatan dari pilot proyek modernisasi dalam semua aspek kehidupan kita, baik mental maupun spritual."
Sekalipun pemilihan katanya sudah memenuhi syarat seperti yang diuraikan di atas, jika khalayak pendengarnya bukan golongan terpelajar dan tidak biasa dengan kata-kata yang digunakan itu, ada kemungkinan pesan tidak terpahami dengan baik. Penggunaan kata yang digali dari khazanah bahasa Indonesia lebih memungkinkan pemahamannya. Jika hal itu akan dilakukan, berikut ini padanannya dalam bahasa Indonesia.
  • Salut : hormat, penghormatan
  • Partisipasi : peran serta
  • Dedikasi : pengabdian (pengorbanan tenaga dan waktu untuk keberhasilan suatu usaha atau tujuan mulia)
  • Antusias : bersemangat
  • Irigasi : pengairan (cara pengaturan pembagian air untuk sawah)
  • Pilot proyek : proyek perintis, percontohan.
Pada hakikatnya, memilih kata secara baik merupakan upaya agar pesan yang hendak disampaikan dapat diterima secara tepat.

PENTINGNYA BERBAHASA YANG BAIK DAN BENAR DALAM DUNIA SISTEM INFORMAS

PENTINGNYA BERBAHASA YANG BAIK DAN BENAR DALAM DUNIA SISTEM INFORMASI
Bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi dalam kegiatan sehari – hari baik formal maupun non formal. Melalui bahasa pula, kita dapat menunjukkan sudut pandang, pemahaman, asal usul bangsa dan negara, serta karakteristik sifat . Fungsi bahasa itu sendiri adalah untuk menyampaikan informasi ke pada orang lain agar orang tersebut paham dan mengerti makna apa yang kita sampaikan kepadanya.
Pada dasarnya Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sangat penting di Negara Indonesia. Setiap negara memiliki ciri khas akan bahasanya tersendiri. Dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, berarti telah menjunjung tinggi.
Dalam hal ini, bahasa Indonesia pun berpengaruh dalam dunia sistem informasi. Dimana sebuah sistem ini saling berhubungan erat dengan bahasa. Bagaimana jika bahasa yang digunakan untuk sarana informasi menyimpang dari kaidah-kaidahnya ? . Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih dari masa ke masa sangat berpengaruh untuk kedepannya. Jika sarana yang digunakan untuk informasi menggunakan bahasa yang kurang baik pasti akan membawa dampak buruk khususnya masyarakat yang akan haus segala sarana maupun teknologi yang sedang berkembang serta makna yang ingin di sampaikan pun kurang di pahami.
Di era globalisasi ini, bahasa Indonesia hendaknya di pergunakan dengan baik dan benar. Tetapi,  realita diluaran sana banyak media cetak atau elektronik yang menggunakan bahasa remaja atau dikenal dengan bahasa gaul, sehingga status bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional semakin terlupakan oleh masyarakat. Hal ini yang dapat membawa dampak negative untuk sistem informasi yang seharusnya dapat menyampaikan bahasa yang baik dan benar untuk sarana informasinya tetapi dengan adanya bahasa gaul memberi makna beda dan menyimpang.   
Penyebab terjadinya seseorang jarang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dikarenakan arus globalisasi masyarakat yang sering menggunkan bahasa gaul, tidak di realisasikan dalam kalangan remaja, kurangnya pengaplikasian bahasa Indonesia yang baik dan benar di lingkungan formal seperti sekolah. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat digunakan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat, antara lain :
  1. Menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis pembinaan bahasa,
  2. Perlunya pemahaman terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar,
  3. Menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
Referensi : http://tomat1610.blogspot.com/2012/02/pentingnya-berbahasa-indonesia-dengan.html

Jumat, 11 Oktober 2013

Ejaan Yang Di Sempurnakan Dan Tanda Baca

                           Novel BELENGGU “Terbelenggu” Tanda Baca Elipsis

Ketika membalik-balik buku tentang Armijn Pane, saya baru tahu ia pernah menjadi anggota Panitia Sensor Film (PSF) yang kini berubah nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Di bawah pimpinan ketua PSF Mr. Maria Ulfah Santoso (1950-1964) Armijn Pane menjadi anggota dari tahun 1950 hingga 1955. Tidak salah jika jejak Armijn Pane diikuti oleh pengarang novel wanita yang produktif, Titie Said, yang sempat menjadi Ketua LSF.

Siapa Armijn Pane? Lahir di Muara Sipongi tanggal 18 Agustus 1908 dan wafat  16 Februari 1970. Ia adalah sastrawan angkatan Pujangga Baru. Karya sastranya antara lain:   Gamelan Djiwa (1960), Djiwa Berdjiwa (1939), Belenggu (1940), Djinak-Djinak Merpati (1940) Kisah Antara Manusia (1953) dan Antara Bumi dan Langit (1951). Novel Belenggu telah puluhan kali saya baca ketika masih remaja dulu. Buku ini mulai ditulis dari bulan Oktober hingga Desember 1938. Sebelum dicetak dalam bentuk buku, novel ini lebih dulu dimuat dalam majalah Pujangga Baru ketika Armijn Pane menduduki jabatan sekretaris redaksi. Semula novel ini berjudul “Pintu Kemana?” Setelah akan diterbitkan dalam bentuk buku, judul diganti menjadi “Belenggu”. Selain diterbitkan di dalam negeri, tahun 1965 Belenggu juga diterbitkan oleh penerbit Malaysia (Petaling Jaya) dan menjadi bacaan pupuler di kalangan remaja pecinta sastra di Malaysia.

Sudah puluhan orang yang mengulas karya sastra yang tergolong fenomenal itu. Mereka menyoroti dari berbagai sudut pandang: sejarah sastra, tema, gaya bahasa, gaya cerita, psikologi, sosial,  budaya, dll. Tetapi ada bagian dari novel itu yang belum pernah ditulis orang. Sederhana sekali, yakni sekitar pemakaian tanda baca. Untuk mengenang jasa almarhum sengaja saya tulis pemakaian tanda baca, khususnya tanda baca “elipsis” ( ... ) dalam novel Belenggu yang ternyata memiliki keunikan tersendiri.

Mengapa Belenggu?

Karya Armijn Pane yang satu ini ketika disampaikan  ke Redaktur Balai Pustaka ditolak karena dinilai merupakan karya sastra yang membeberkan realita sosial dalam sebuah kehidupan di sebuah rumah tangga. Novel Belenggu memaparkan kehidupan para tokoh yang terbelenggu oleh keegoisan masing-masing tokoh, yaitu dr. Sukartono (Tono) dan isterinya Sumartini (Tini), serta selingkuhan sang dokter yang bernama Rohayah (Yah). Gambaran sebuah keluarga terpelajar yang gagal dalam membangun rumah tangga. 

Tono merupakan seorang dokter yang sangat peduli terhadap pasien-pasiennya. Setiap hari, siang maupun malam selalu sibuk dengan pasien. Ia justru mengabaikan isterinya  Tini  yang berparas cantik.   Tini merasa, Tono egois. Tono menikahi Tini, tidak didasari cinta, melainkan hanya menganggap Tini pantas untuk menjadi istrinya. Sebaliknya di dalam diri Tini juga berkecamuk sikap yang sama karena ia menikah dengan Tono hanya sekedar ingin melupakan masa lalunya.

Pertengkaran di dalam rumah tangga menjadi hal biasa. Konflik yang terjadi dalam rumah tangga Tono dan Tini menjadi inti dari novel Belenggu. Konflik dari dua pribadi yang sama-sama egois. Konflik itu diperparah dengan hadirnya tokoh ketiga, Rohayah (Yah), teman Tono pada waktu masih di Sekolah Rakyat dulu. Diam-diam Yah memendam rasa cinta terhadap Tono. Yah juga merupakan pribadi yang gagal dalam berumah tangga. Tidak rela dipaksa kawin oleh orang tuanya, ia  pergi ke Jakarta. Tragisnya, Yah  di Jakarta menjadi seorang wanita panggilan yang selalu kesepian. Ketika tahu keberadaan Tono, Yah segera menghubunginya. Berpura-pura menjadi orang sedang sakit, Yah berhasil  mengelabui Tono sehingga Tono pun masuk perangkap.

Sebuah cerita cinta segi tiga antara Tono, Tini dan Yah, yang sarat dengan konfik batin disajikan kepada pembaca dengan gaya cerita dan gaya bahasa yang menarik. Dalam mengakhiri cerita novelnya Armijn memilih berbeda dengan pengarang-pengarang novel  sejaman yang cenderung memihak kepada salah satu tokoh atau mematikan salah satu tokohnya. Armijn justru mengakhiri cerita Belenggu dengan cara yang adil bagi  ketiganya. Tidak ada tokoh yang dikalahkan atau dimatikan. Mereka berpisah, tetapi dari perpisahan itu ketiganya merasa telah terbebas dari ”belenggu” perasaan masing-masing sebagai inti permasalahan yang diangkat Armijn ke dalam novel ini.

Terbebasnya belenggu dari ketiga tokoh itu dapat kita lihat pada kata-kata masing-masing tokoh.  Setelah berpisah dengan Tini dan Yah, dr. Tono merasa ”...baru bangun dari mimpi, seolah-olah selama ini ada yang membelenggu pikiran dan angan-angannya, kini belenggu itu berdering jatuh ke tanah, ...”. (hal. 148) Tini juga merasa di dalam hatinya menjadi tenang karena: -”Haru biru yang selama ini dalam hatinya sudah hilang sama sekali. Belenggu yang sebagai mengikat semangatnya sudah terlepas. Di dihadapan mata semangatnya dengan terang memanjang jalan yang ditempuhnya”. (hal. 136) Demikian pula halnya dengan Yah, setelah perpisahan itu juga telah menemukan dunia baru, terbebas dari belenggu yang selama dia rasakan. Kesimpulan ini didapat dari kalimat: -”Yah tersenyum, sambil menangis... dia merasa belenggu dahulu, waktu belum ketemu Tono, terkunci lagi, tetapi belenggu itu terasa ringan, menerbitkan perasaan gembira yang tidak terhingga...”. (hal 149)

Pamakaian tanda baca elipsis

Nama tanda baca ini berasal dari kata bahasa Yunani élleipsis, yang berarti penghilangan.  Pembentukannya dengan cara merangkai tanda baca titik (.). Tanda titik di Malaysia disebut noktah, di Inggris disebut full stop, period atau dot. Rangkaian tanda itu berjumlah tiga titik ( ... ). Tanda baca “elipsis” biasa disebut omission marks atau  suspension, yang berarti penghilangan kata atau frase dari teks atau kalimat. Di Polandia elipsis disebut wielokropek. Aslinya ditulis ”ellipsis”, dan di Indonesia sesuai EYD penulisannya menjadi “elipsis” (dengan satu huruf “l”). Pemakaianya diatur sebagai berikut: 

(1) Dipakai dalam kalimat yang terputus-putus. Contoh: -  Kalau begitu ... ya, marilah kita bergerak; (2) Dipakai  untuk  menunjukkan  bahwa  dalam  suatu  kalimat  atau  naskah ada bagian yang dihilangkan. Contoh: -  Sebab-sebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut”.

Tujuan pemakaian tanda baca elipsis menurut W.J.S. Poerwadarminta adalah untuk: (1) menandai adanya kata atau frasa yang tidak ditulis dalam statu kalimat, dan selanjutnya pembaca diharapkan akan mengisi sendiri kata-kata yang dihilangkan; (2) melukiskan apa yang tidak dapat lagi diucapkan oleh tokoh dalam cerita karena keharuan yang sangat dalam, menyebabkan kata-kata tidak keluar untuk mengungkapkan sesuatu; (3)  menandai adanya tanda jeda panjang. Selain itu, H.B. Jassin menambahkan satu tujuan, yaitu untuk: (4) menandai adanya loncatan kepada suatu ketiba-tibaan, kejadian atau pikiran yang tidak disangka-sangka atau sebagai tanda belum selesainya berbicara, terputus-putusnya orang bicara, dsb.

Di Amerika Serikat penulisan tanda baca ini  diharuskan memakai spasi dan hanya tiga titik saja: ”The ellipsis consists of three evenly spaced dots (periods) with spaces between the ellipsis and surrounding letters or other marks”. Ada spasi antara tanda ”ellipsis” dengan huruf sebelum dan sesudahnya ( ). Contoh: -  “The ceremony honored twelve brilliant athletes ... visiting the U.S.”.   Di Polandia elipsis ditulis dengan tiga titik tanpa spasi dari huruf terakhir atau dengan kata yang mengapitnya. Di Jepang tanda baca ini disimbolkan tidak hanya tiga titik melainkan dengan enam titik. Cara penulisannya tidak horizontal melainkan dengan vertikal, sesuai dengan cara penulisan huruf  Jepang.  Bahkan di Jepang ada yang memakai sampai sepuluh titik, sehingga sering tanda baca itu dijadikan olok-olok dengan sebutan ”ten-ten-ten”. Sementara di China elipsis juga ditulis dengan enam titik dengan penulisan tiga titik dalam dua grup (ada spasi).

Di Indonesia penulisan tanda baca elipsis disepakati dengan menggunakan tiga tanda titik, mengikuti pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972. Bagaimana jika  tanda baca ellipsis dipakai pada awal kalimat? Supaya tidak kacau dengan tanda titik pada akhir kalimat sebelumnya, maka harus ada spasi.

Contoh: -  Pak Amir tadi pagi meninggal. …Meninggal?  (Spasi)

Bagaimana bila elipsis dipakai pada akhir kalimat? Tanda baca itu ditulis dengan empat titik. Tiga titik sebagai tanda baca elipsis dann satu titik tambahan sebagai tanda baca untuk mengakhiri kalimat.

Contoh: - « Lihatlah, bulan mulai terbit.... Menerangi jagat raya ». (Tanda titik  keempat sebagai tanda akhir kalimat)

Tidak ada novel lain yang memakai tanda baca elipsis sebanyak novel Belenggu. Selain mendominasi seluruh kalimat dan halaman buku, cara penempatan tanda itu sangat  beragam. Saking banyaknya pemakaian tanda itu, seolah-olah novel Belenggu menjadi “terbelenggu” oleh pemakaian tanda baca itu. Apakah benar demikian? Seberapa banyakkah pemakaian tanda baca itu?

Sebagai pegangan dalam penyimakan saya pakai buku Belenggu cetakan keempat, tahun 1954. Sebenarnya akan lebih baik apabila digunakan buku terbitan pertama (1940) tetapi untuk mencari buku terbitan pertama, kedua atau ketiga tidak tersedia waktu yang cukup. Sebagai novel terkenal, sampai dengan tahun 2008 Belenggu sudah mengalami cetak ulang yang ke-21. Meskipun menggunakan buku cetakan keempat kemungkinan telah terjadi perubahan atau penghilangan pemakaian tanda baca dibandingkan dengan cetakan sebelumnya sangat kecil. Cetakan terakhir justru menjadi penting sebagai pembanding, terutama dalam hal pemakaian tanda baca yang tentunya telah mengikuti pedoman EYD.

Bertolak uraian dan dari 4 tujuan pemakaian tanda elipsis seperti disebut di atas pemakaian tanda baca dalam Belenggu dapat dibedakan atas dua macam cara. Pertama, pemakaian tanda baca titik (.) yang di sini saya sebut dengan pemakaian tanda ”titik panjang” karena  dipakai sepanjang satu baris. Kedua, pemakaian tanda baca elipsis ( ... ).

Pemakaian tanda baca ”titik panjang” dimaksudkan untuk melukiskan pergantian persoalan yang dijadikan topik dalam bab novel tersebut. Tanda baca ini terdapat pada halaman 22. Bunyi kalimat itu sebelum dan sesudah tanda baca ”titik panjang” adalah sebagai berikut:

-  ” Tetapi pikiran itu tiada timbul benar, tiada terasa perlu bertanya.